A. HASSAN : Guru para Tokoh Revolusioner Kemerdekaan Indonesia

“Umat Islam di Indonesia harus memperjuangkan asas Islam sebagai landasan perjuangan dikarenakan segala sesuatu dalam kehidupan manusia baik dalam aspek sosial, politik maupun keagamaan harus selalu terintegrasi pada ajaran Allah dan semangat Islam.” (A. Hassan).

Oleh: Ratu Nizma Oman

KELAHIRAN NUSANTARA

Hasan Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Hasan Marecar Al Qahiriy, Lahir di tanah rumpun melayu Nusantara tepatnya di Singapura pada tanggal 31 Desember 1887 M. Ayahnya seorang keturunan India – Mesir dan mereka tinggal berpindah-pindah karena tuntutan pekerjaan orangtuanya. Ahmad, sang Ayah seorang ulama yang cukup terkenal di masanya dan ibunya bernama Muznah, seorang wanita kelahiran Surabaya dan masih keturunan India, berprofesi sebagai guru agama yang pandai mengaji.

Setelah menikah di Surabaya, mereka kemudian pindah ke Singapur karena sang ayah bekerja disana menjadi seorang jurnalis. Beliau menjadi redaktur di media cetak bernama majalah Nur Al Islam. Selain itu beliau juga seorang penulis beberapa kitab dan kemudian banyak kitabnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Ahmad Hassan (A. Hassan) adalah anak ke delapan dari sebelas bersaudara namun beliau putra dari isteri kedua ayahnya. A. Hassan lahir dalam lingkungan keluarga religius dan intelektual. Latar belakang Ayah dan ibunya yang berpendidikan sehingga dapat memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anaknya dengan harapan agar kelak menjadi sosok pembaharu Islam di masa depan. Penerus para ulama.

PENDIDIKAN

Pendidikan Hassan kecil awalnya belajar kepada ayah dan ibunya. Ibunya seorang guru ngaji yang sangat fasih berbahasa Arab. Kemudian beliau belajar kepada Haji Ahmad di Bukittiung dan Haji Muhammad Thaib, yang menjadi tempatnya belajar fiqih dan tata bahasa Arab—nahwu/sharaf. Beliau juga pergi kepada Sayyid Abdullah Musawi untuk belajar bahasa Arab. Di luar itu, pemuda tersebut juga menemui pamannya, Haji Abdul Latief yang juga ulama terkenal di Malaka dan Singapura. Guru-guru A. Hassan yang lain Syekh Hasan dan Syekh Ibrahim. Rihlah keilmuan itu terus dijalaninya hingga usianya 23 tahun.

Menurut Prof. Tiar Anwar Bachtiar, A. Hassan juga belajar kepada Syarif al-sayid Umar bin Ali al-Juneid dari Palembang. Guru Syekh Syarif sendiri salah satunya adalah Syaikh Achmad Chatib al-Minangkabaui (salah satu penyebar agama Islam ke Singapura).

Dari urutan gurunya A. Hassan itulah kita bisa mengetahui bahwa beliau penganut ahlussunah wal jamaah bermazhab Syafi’i. Para guru beliau selalu ada hubungan yang erat dengan Nusantara. Oleh karena itu beliau akhirnya memilih hijrah ke Nusantara hingga akhir hayatnya. Membawa misi pembaruan tepatnya mengembalikan aqidah ummat Islam kepada Al-Qur’an dan as-sunah yang shahih. Sebab pada masa itu umat Islam tidak sedikit yang menjadi sekuler akibat penjajahan imperialisme yang berkepanjangan.

Beliau kemudian mempraktekkan ilmu yang telah diberikan para gurunya hingga beliau akhirnya menulis kitab-kitab dan menjadi acuan referensi baru dalam khazanah keilmuan dunia Islam. Kitab-kitabnya banyak dipakai oleh para umat Islam tidak hanya di Nusantara tapi juga di seluruh dunia khususnya di dunia Islam. Untuk lebih memudahkan belajar dan memahami tafsir Al-Qur’an dan hadist. Beliaulah sang guru dari para guru ulama besar, tokoh revolusioner dan guru para tokoh bangsa yang lahir pada abad ke 20 di era transisi kemerdekaan Indonesia.

KIPRAH A. HASSAN DI NUSANTARA

Foto Tuan Guru A. Hassan (tengah pakai sarung), Syekh Al Maghribi (Guru Jamiat Khair/ sorban putih), sebelahnya K. H. M. Zamzam (Pendiri ormas Persatuan Islam), Bandung 1935.

Singapura dulu masih bagian dari wilayah Nusantara sebelum diambil alih oleh pemerintah kolonial. Islam di Singapura disyi’arkan oleh para ulama dari berbagai belahan Asia tenggara dan benua kecil India, seperti Syaikh Haatib al-Minangkabaui, Syaikh Ahmad Aminudin, Syaikh Habib Ali Habsi dan Syarif al-sayid Umar bin Ali al-Juneid dari Palembang kemudian mendirikan madrasah di sana.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, A. Hassan kemudian mulai bekerja sebagai pengajar dan pendidik di sebuah madrasah di Singapura. Selain sebagai guru, beliau juga adalah seorang jurnalis yang terkenal sangat kritis, jenius, ahli debat dan pidato. Sikap kritis A. Hassan memang sudah muncul sejak ia belia. Saat berumur 23 dan jadi reporter muda di surat kabar Utusan Melayu ia sering membuat kolom yang kritis. Misalnya, tulisan yang mengkritik kadi (hakim) yang mengadili suatu perkara dengan mengumpulkan lawan jenis dalam satu ruangan. Kritik ini amat langka, karena tak pernah sebelumnya ada yang berani mengkritik kadi secara terang-terangan di media massa.

Beliau juga dijuluki Singa Podium jika berpidato. Karena pemikirannya sangat revolusioner. Namun akhirnya oleh pemerintah kolonial, ia tak diperbolehkan lagi berpidato dan naik mimbar. Akhirnya beliau hijrah ke Surabaya pada tahun 1921.

A. Hassan sendiri menikah pada tahun 1911 di Singapura dengan seorang wanita bernama Maryam, putri seorang ulama besar yang masih keturunan India yaitu Syekh Abdul Qodir, gurunya A. Hassan. Mereka memiliki 7 orang anak diantaranya ; Abdul Qadir, Jamillah, Abdul Hakim, Zulaikhah, Ahmad (meninggal waktu kecil), M. Said dan Manshur.

Sesampainya beliau dan keluarganya hijrah ke Surabaya, di kampung kelahiran ibunya yang akhirnya kelak menjadi kampung halamannya dan tempat peristirahatan terakhirnya. A. Hassan juga menemui saudara – saudara ibunya yang menetap disana. Bahkan ia tinggal di rumah pamannya Syekh Abdullah Hakim, seorang ulama terpandang dan pedagang yang handal. Lalu A. Hassan kemudian mengurus perdagangan bersama pamannya. Kemudian Istrinya pun mengandung dan melahirkan seorang putra yang bungsu di Surabaya.

Pada mulanya A. Hassan hanya bekerja saja untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Beliau belum berdakwah karena merasa ilmunya masih kurang. Namun dorongan jiwanya yang selalu haus mencari ilmu dan pemikirannya yang kritis mendesaknya untuk turut berkecimpung dalam masalah-masalah sosial yang terjadi di kota itu. Beliau pun akhirnya mencari tahu mengenai informasi yang sedang terjadi disana. Apalagi saat itu wilayah Nusantara sedang dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan sudah berlangsung lama hingga ratusan tahun lamanya. Rakyat yang mayoritas adalah Umat Islam selalu ditindas dan diperlakukan tidak adil. Tentunya rakyat tidak memiliki kemerdekaan sepenuhnya dan hanya bisa menjadi budak di tanah air nya sendiri.

A. Hassan sangat prihatin dan akhirnya muncullah ghiroh dalam dadanya sehingga ia ingin ikut berjuang melawan kaum penjajah yang menindas rakyat. Lalu sang singa yang sedang tidur itu, mulai berbaur dengan tokoh-tokoh dan para ulama disana. Kebetulan A. Hassan bertetangga dengan seorang kerabat dari tokoh muda yang sangat terkenal yaitu seorang ulama bernama Fakih Hasyim. Melalui perkenalan dengan sosok Fakih Hasyim inilah, seorang yang berasal dari Padang dan menetap di Surabaya untuk berdagang. Mereka akhirnya banyak berdiskusi tentang masalah-masalah agama dan perjuangan. Lalu A. Hassan diperkenalkan kepada tokoh-tokoh muda Syarikat Islam saat itu, diantaranya ; HOS Cokroaminoto, AM Sangaji, Bakri Suroatmojo, Wondo Amiseno, dll.

Namun A. Hassan adalah sosok yang rendah hati dan selalu ingin belajar. Beliau banyak bertanya dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh muda itu yang sebagian besar adalah para ulama. Namun pertanyaan-pertanyaan dalam diskusi bisa dijawabnya dengan mudah. Sehingga beliau akhirnya menjadi tempat bertanya dan menimba ilmu.

Ketika terjadi perdebatan dan pertentangan dalam masalah agama, A. Hassan mulai berpikir dan meyakini bahwa agama adalah apa yang dikatakan Allah dan RasulNya. Sejak itulah ia mulai menyebarkan paham agama yang murni yakni kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Akhirnya beliau mulai berdakwah menyebarkan Syi’ar Islam serta mensosialisasikan minat baca dan budaya literasi agar Masyarakat bisa membaca dan menulis. Disinilah kita bisa melihat kiprah A. Hassan untuk mencerdaskan bangsa.

Sebagai pedagang, beliau harus bepergian ke luar kota. Akhirnya pada tahun 1923, A. Hassan pergi ke kota Bandung daerah Jawa Barat untuk berdagang namun karena ia juga seorang ulama dan seorang guru, beliau pun berdakwah di setiap tempat yang beliau singgahi . Sebab beliau selalu merasa risau dan khawatir melihat ummat semakin terjerumus dalam kemaksiatan dan kejumudan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana bangsa ini mau merdeka jika masyakaratnya saja masih awam dan terbelakang. Tidak paham agama, esensi dari perjuangan dan bermaksiat kepada Allah SWT. Itulah kira-kira apa yang selama ini menjadi pikiran dalam diri sang guru.

Pada tahun itu adalah tahun kebangkitan pergerakan di Nusantara. Beliau merasa terpanggil untuk berjuang bersama para pejuang lainnya untuk melawan imperialisme. Ketika di Bandung, beliau tinggal di rumah K.H. M. Yunus, salah satu pendiri organisasi Persatuan Islam (Persis). Kemudian pada tahun 1925, A. Hassan hendak pulang ke Surabaya, namun kecerdasan dan kedalaman ilmu agamanya membuat tokoh-tokoh Persis dan para ulama lainnya serta murid-muridnya memintanya untuk tinggal di Bandung. Sejak itulah kiprah besar A. Hassan dalam pergerakan Islam melawan imperialisme terus berlanjut.

Tidak hanya dalam menyebarkan dakwah dan Literasi, tetapi beliau pun turut berkiprah di tingkat Nasional. Ketika pada awal kemerdekaan, beliau pernah diminta wakil Presiden M. Hatta dan mantan Perdana Menteri yang adalah muridnya yaitu M. Natsir untuk meredakan pemberontakan yang terjadi di wilayah NKRI.

TOKOH ULAMA REVOLUSIONER

Profesor di Australian National University, M.B. Hooker, dalam Islam Mazhab Indonesia: Fatwa dan perubahan Sosial (2002) menyebut A. Hassan adalah seorang literalis murni. Bisa diartikan sebagai sosok pembaruan (agent of change). Dalam pandangan keyakinan dan perjuangannya, ajaran teologi islam tidak dapat ditegakkan tanpa membasmi syirik, sunah tidak mungkin dihidupkan tanpa memberantas bidah, dan ruhul intiqad tidak dapat dihidupkan tanpa memberantas taklid (hlm. 78).

A. Hassan dengan gerakan organisasi Persis dibandingkan ormas lain yang fokus kepada ibadah ritual dan kegiatan sosial. Ormas Persis lebih mengedepankan intelektualitas dan pemurnian ajaran Islam. Sehingga menurut Prof. Dadan Wildan, Tokoh Persis mengatakan dengan strategi A. Hassan di masa lampau malah memunculkan kesan revolusioner.

Sosok A. Hassan dikenal bukan hanya sebagai sosok yang kritis, intelektual, ahli debat dan singa podium, bekas jurnalis tapi ia juga dikenal sebagai ulama besar dan penulis produktif. Selama hidupnya, ada 81 judul buku yang ia tulis. Ini membuatnya jadi salah satu ulama paling produktif menulis buku. Karya terbesarnya adalah tafsir Quran Al Furqan yang terbit pada 1928.

Pada saat sebagian besar ulama di masa itu hanya berbicara agama dengan terus mengacu kepada karya-karya keislaman klasik, A. Hassan justru berani membuat “pustaka acuan baru” bagi pemikiran Islam. Nilai lebihnya, tafsir ini ia tulis dalam bahasa Melayu. Poin inilah yang membedakan A. Hassan dengan ulama-ulama lain.

Di zaman pergerakan nasional A. Hassan, yang kebetulan berbisnis percetakan, menerbitkan banyak majalah sebagai sarana dakwah seperti Pembela Islam, Al-Lisan, At-Taqwa yang berbahasa Sunda, dan Al-Fatwa yang beraksara Jawi. Majalah-majalah ini diedarkan hingga Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Malaysia, dan Thailand.

Sang guru bangsa yang revolusioner ini banyak mengilhami pemikiran para ulama besar di Nusantara dan para tokoh bangsa bahkan hingga ke mancanegara. Ormas Muhammadiyah pun memakai acuan kitab Bulughul Marom karya A. Hassan. Para tokoh nasional seperti M. Natsir dan Soekarno pun sering berkonsultasi dan berguru kepada beliau.

A. Hassan, tokoh ulama yang revolusioner dan Guru para tokoh bangsa itu akhirnya syahid pada 10 November 1958 di usia 71 tahun karena sakit. Beliau dimakamkan di Bangil Surabaya Jawa Timur kampung halamannya.

Jadi, sudah layakkah Tuan Guru A. Hassan dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional ? Mengingat jasa-jasa beliau yang teramat besar sejak era pra- kemerdekaan memperkenalkan Literasi dan turut mencerdaskan bangsa. Hingga mengantarkan bangsa ini menuju pintu gerbang kemerdekaan, menjaga keutuhan wilayah dengan meredam pemberontakan. Bahkan sampai sekarang kitab – kitab beliau masih dipakai dan sangat besar manfaatnya bagi umat tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

Wallahu’alam.

*Penulis adalah alumni Persis No.55 Serang – Banten dan PPI Benda 67 Tasikmalaya.

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *